Museum Monumen Pers Nasional Solo

Museum Monumen Pers Nasional resmi dibuka pada 9 Februari 1978, sebelumnya gedung ini digunakan sebagai markas Palang Merah Indonesia. Sebelum menjadi gedung PMI dahulunya adalah Gedung Societeit Sasana Soeka yang dibangun pada 1918 oleh Mangkunegara VII dengan arsitek Mas Abu Kasan Atmodirono. Selanjutnya ditambah gedung lain yang dibangun pada 1970-an.

Museum Monumen Pers Nasional Solo ada di tepi bundaran Jl. Gajah Mada dan Jl. Yosodipuro. Gedungnya cukup besar, dengan stupa di atapnya. Di depan gedung terdapat papan baca surat kabar Solopos, Suara Merdeka, dan Republika yang bisa dibaca gratis para pejalan kaki.

Pada terasnya terdapat empat arca naga berukuran besar, namun saya masuk melalui pintu samping. Gratis. Di beranda depan Museum Monumen Pers Nasional terdapat Kentongan Kyai Swara Gugah sebagai lambang alat komunikasi utama pada masa lalu. Begitu masuk ke dalam ruangan, terlihat beberapa buah patung dada di sisi kanan lorong.

Patung dada lima tokoh pers nasional, yaitu Soetopo Wonobojo, R. Bakrie Soeraatmadja, Dr. Abdul Rivai, Dr. Danudirdja Setiabudhi, dan R.M. Bintarti. Soetopo memimpin harian Boedi Oetomo edisi Bahasa Belanda di Yogya, kemudian memimpin Harian Koemandang Rakjat di Solo, dan menjadi ketua PB PERDI pertama pada Kongres di Solo tahun 1933.

Bakrie Soeraatmadja adalah pemimpin redaksi Sipatahoenan, surat kabar berbahasa Sunda. Ia dijebloskan ke penjara Belanda selama 3 bulan karena menulis tentang penangkapan Soekarno. Sedangkan Dr. Abdul Rivai rajin mengirim tulisan ke suratkabar tanah air saat berkelana ke Eropa dan Amerika, yang memberi pembelajaran politik kepada bangsanya. Dr. Danudirdja Setiabudhi (Douwes Deker) bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan R Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij pada 1912. Di Solo ia menerbitkan De Beweging dan dipenjara 2 tahun karena terlibat pemogokan buruh pabrik gula. Pindah ke Semarang ia menerbitkan Niewe Express, dan pindah ke Bandung ia menerbitkan Ksatrian Insituut. Sedangkan RM Bintarti bersama dengan R Panjo Soeroso menerbitkan Kemadjoean Hindia yang sayangnya tak bertahan lama. Ia sempat pindah ke Sin Po, Soeara Publiek, dan Pewarta Surabaja sampai 1942. Pada 1945 bersama Bung Tomo ia mendirikan Kantor Berita Indonesia yang kemudian digabungkan dengan Kantor Berita Antara Pusat Jakarta.

Koleksi majalah Djawa Baroe di Museum Monumen Pers Nasional. Majalah buatan pemerintah pendudukan Jepang ini adalah alat propaganda agar rakyat mendukung Jepang dalam perang Asia-Pasifik. Koleksi lainnya adalah “Fikiran Rak’jat” dengan pemimpin redaksi Ir.Soekarno, “Penjebar Semangat”, Majalah “Minggu Pagi”, Sketsmasa, Asia Raya, dan Mataram.

Ada ribuan koran, majalah serta berbagai benda bersejarah terkait pers Indonesia yang disimpan di Museum Monumen Pers Nasional ini, baik di ruang pamer, ruang Media Center, dan di perpustakaan lantai atas. Salah satu yang menarik adalah peralatan pemancar yang dipakai pada siaran langsung terjauh pada 1936, yaitu dari Solo ke Den Haag.

Pemancar ini disebut Radio Kambing karena pernah disembunyikan pejuang RRI dan TNI di kandang kambing Desa Balong, lereng Lawu pada aksi militer Belanda II 1948-1949. Saat itu Gusti Nurul, Putri Sri Mangkunegoro VII, menari Tari Srimpi dalam resepsi pernikahan Ratu Yuliana dan Pangeran Benhard di Istana Noordine, Den Hag, pada 1936. Tarian itu dilakukan dengan iringan gending yang disiarkan secara langsung oleh SRV dari Kota Solo dan dipancarkan ke negeri Belanda. Siaran itu dapat diterima di Istana Noordine melalui pesawat radio yang kemudian digunakan untuk mengiringi Gusti Nurul menari.

Potongan Diorama III Museum Monumen Pers Nasional yang menggambarkan beberapa serdadu Jepang baru saja turun dari kapal. Ada pamflet propaganda melayang di atas gedung yang dijatuhkan dari pesawat. Seorang tentara Jepang tengah berpidato dan wartawan memotretnya. Ada pertunjukan tarian. Ada pula penjara, dan suasana percakapan.

Diorama ini menggambarkan situasi kerja jurnalistik saat itu yang banyak berisi propaganda Jepang, sensor pers, dan hukuman bagi penerbit dan wartawan yang dianggap berbahaya. Nama tokoh pers yang disebut pada diorama adalah Abdul Rivai, Bakrie Soeraatmadja, Bintarti, Danudirdja Setiabudhi, Darmosoegito, Tirtohadisoerjo, Djamaludin Adinegoro, Ratulangie, Soedarjo Tjokrosisworo, Soetopo Wonobojo, dan Taher Tjindarboemi.

Penerbitan pers di Indonesia berawal dari Bataviasche Novelles en Politique Raisonemnetan, surat kabar pertama yang terbit 7 Agustus 1774. Hampir seabad kemudian terbit koran bahasa Melayu seperti Slompet Melajoe dan Bintang Soerabaja (1861). Lalu ada Li Po (1901), Medan Prijaji (1907), Sin Po (1910), dan majalah pertama Panji Islam (1912).

Adalah koran Soeara Asia yang memuat pertama kali teks Proklamasi Kemerdekaan pada edisi 18 Agustus 1945, kemudian diikuti oleh koran Tjahaja (Bandung), Asia Raja (Jakarta), dan Asia Baroe (Semarang). Peran pers mengalami pasang surut sejak jaman Belanda, Jepang, masa revolusi, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, orde baru, dan era reformasi. Tempat terkait pers yang juga menarik adalah Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara

Leave a Reply